Jakarta - Kuasa Hukum Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Denny Indrayana menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Presidential Treshold atau ambang batas pencalonan presiden yang menyaratkan 20 persen kursi DPR atau 25 persen total perolehan suara nasional.
Seperti diketahui, pada Kamis (07/7/2022), MK menolak setidaknya empat gugatan sekaligus, yakni berkaitan dengan Presidential Threshold, Judicial Review terkait pelaksanaan Pemilu serentak, uji materi Penunjukan Penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta dan Papua, serta gugatan terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu.
Gugatan tersebut diajukan sejumlah pihak mulai dari DPD RI hingga partai politik seperti Partai Bulan Bintang (PBB).
Perkara itu terdaftar nomor 52/PUU-XX/2022.
Denny khawatir dalam putusan MK yang menolak gugatan presidential treshold ini ada campur tangan pihak Istana.
Sehingga, dinilai dapat mempengaruhi independensi Mahkamah.
“Jadi, kalau partai-partai besar dan Istana punya calon yang kemudian tidak bisa maju karena presidential threshold, kemudian kekuatan-kekuatan politik ini ingin menghilangkan presidential threshold agar figur-figur seperti Anies, atau Ganjar atau siapapun yang kesulitan maju itu punya peluang atau siapapun yang lain yang punya peluang, maka perubahan konfigurasi politik ini,” kata Denny Indrayana dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (13/7/2022).
“Sayangnya bacaan saya, bisa mempengaruhi positioning putusan MK,” lanjut dia.
Selain itu, Denny juga khawatir persoalan hukum bukan hanya semata-mata hukuman sich, melainkan dipengaruhi dua kekuatan.
“Kekuatan politik, kekuatan kalau mafia hukum itu kekuatan transaksional, itu satu, perubahan konfigurasi politik," ucapnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara ini menambahkan faktor lainnya yang juga dinilai bisa mempengaruhi konstitusionalitas presiential treahold ialah perubahan konfigurasi hakim MK.
Dia memandang dalam ketentuan pasal terkait presidential treshold 20 persen dapat tidak sesuai konstitusi jika ada tiga hakim lain mengubah positioning mereka terkait pasal tersebut.
“Sehingga mengubah positioning presidential threshold itu memang bukan open legal policy dan pasal tentang ini bertentangan dengan undang-undang dasar," ucap Denny.
“Dari sisi analisis politik hukum ya dua hal itu yang bisa menyebabkan MK berubah positioning konstitusionalitas presidential treshold. dan bukan sekali dua kali MK berubah kan,” lanjut dia.
Dalam kesempatan yang sama, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menjawab kekhawatiran Denny.
Meskipun, Fajar mengatakan dirinya tidak bisa berkomentar banyak soal independensi Mahkamah.
“Mengenai independensi, saya tidak bisa berkomentar lebih jauh karena kemudian ini juga bermain wacana, bermain asumsi,” ucap Fajar.
“Bagaimana membuktikan bahwa MK itu tidak independen, 9 hakim konstitusi tidak independen. Apa kemudian yang bisa disampaikan di situ, karena kemudian seluruh proses persidangan ini berlangsung secara terbuka,” kata dia. (Jsc)