Jakarta - Pengadilan Tipikor Jakarta, menjatuhkan vonis masing masing 9 tahun kepada dua mafia pajak Wawan Ridwan selaku supervisor pemeriksa pajak dan 8 tahun untuk Alfred Simanjuntak selaku ketua tim pemeriksa pajak.
Vonis ini dijatuhkan karena keduanya terbukti menerima suap pajak dari sebelas perusahaan.
Majelis Hakim pimpinan Fahzal Hendri dalam pertimbangannya menilai perbuatan keduanya telah memenuhi semua unsur dakwaan jaksa KPK Muh Asri dan timnya.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu Wawan Ridwan dengan pidana penjara selama 9 tahun, “ ujar Hakim Ketua Fahzal Hendri dalam amarnya, Selasa (14/06).
Selain menghukum 9 dan 8 tahun, Hakim juga menghukum pidana denda 200 Juta Rupiah subsider 3 bulan kurungan.
Vonis hampir sama dengan tuntutan jaksa yang sebelumnya mengajukan hukuman masing masing 10 tahun dan 8 pidana penjara.
Hakim menilai, Ridwan dan Alfred Simanjuntak telah terbukti bersalah melanggar dakwaan kumulatif JPU melanggar pasal 12 huruf a dan pasal 12 huruf b Undang Undang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 65 ayat 1 ke 1.
Keduanya terbukti menerima suap dari fee hasil manipulasi pajak PT Gunung Madu Plantations, Bank Panin dan PT Johnlin baratama senilai masing masing dari Gmp 3,3 miliar rupiah, Bank Panin 500 ribu dolar, masing-masing 250 ribu dolar Singapura.
Johnlin 3,5 juta dolar, masing-masing 875 ribu dolar sin. Sisanya Wawan masing-masing 450 ribu dolar.
Kemudian hakim juga menilai keduanya bersalah melanggar pasal 11 terkait gratifikasi yang diterimanya yang diduga berasal dari fee dari 9 perusahaan wajib , senilai dan setara 2,3 miliar rupiah dari Total penerimaan 17, 4 miliar rupiah, Tahun 2016-2019.
9 perusahaan sebagai pemberi gratifikasi tersebut adalah PT Sahung Brantas Energi, PT Rigunas Agri Utama, CV Perjuangan Steel, PT Indolampung Perkasa, PT Esta Indonesia, Ridwan Pribadi, PT Walet Kembar Lestari, PT Link Net dan PT Gunung Madu Plantations.
Keduanya juga dihukum membayar uang pengganti sesuai dengan Pasal 18 UU Tipikor terkait uang pengganti, masing-masing senilai 8,4 miliar rupiah dari hasil total penerimaan fee dan gratifikasi.
Setelah dikurangi dari penyitaan harta dan pengembalian, maka dikenakan pengganti masing-masing, 2,3 miliar rupiah dan 8,23 miliar rupiah.
Sementara terkait dakwaan ketiga, untuk Wawan Ridwan terkait tindak pidana pencucian uang pasal 3 Undang Undang Nomor 8 tahun 2008 jo pasal 65 ayat 1 ke 1.
Hakim menyimpulkan, hasil dari penerimaan suap dan gratifikasi telah dibelanjakan untuk membeli tanah bangunan dan mobil senilai total 5 miliar rupiah.
Pengeluaran tidak sesuai dengan profil sebagai PNS pajak yng berpenghasilan Rp.550-Rp.700 juta pertahunnya.
Selain itu Wawan tidak dapat menunjukkan asal usul harta berdasarkan Azas pembuktikan terbalik yang diterapkan hakim di persidangan.
Dakwaan ke 4 khusus tedakwa satu (Wawan Ridwan) pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 Jo pasal 65 ayat 1 ke 1.
Uraian terkait pembelanjaan oleh anak Wawan diantaranya terkait alasan bisnis jual beli mobil, jam tangan mewah, pemberian kepada pramugari Garuda Siwi Widi Purwanti, pemberian kepada pacar Moh Fahza Kautsar.
Atas vonis tersebut, terdakwa menyatakan pikir-pikir, sementara Jaksa penuntut umum menyatakan banding.
Gayus Tambunan
Pada 19 Januari 2011 majelis hakim menjatuhkan hukuman pertama bagi Gayus, yakni vonis 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau subsider 3 bulan kurungan. Padahal jaksa penuntut umum sempat menuntut Gayus dengan pidana penjara selama 20 tahun.
Kejahatan yang terbukti dilakukan Gayus saat itu adalah menyalahgunakan wewenang saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) sehingga merugikan negara Rp 570,92 juta.
Kemudian terbukti turut serta memberikan uang kepada polisi senilai total 10.000 dollar Amerika Serikat (AS). Gayus juga terbukti memberikan uang kepada hakim sebesar 40.000 dollar AS saat beperkara di PN Tangerang. Terakhir adalah Gayus terbukti memberikan keterangan palsu soal uangnya senilai Rp 28 miliar yang diduga berasal dari hasil korupsi.
Akibat perbuatannya yang menyalahi wewenang, Gayus Tambunan merugikan keuangan negara hingga Rp570 juta. Ketua Majelis Hakim dalam perkara Gayus Tambunan kala itu adalah Albertina Ho. Ia mengatakan, Gayus Tambunan terbukti menyalahi wewenang dengan cara menerima keberatan pembayaran pajak PT SAT.
“Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama,” ujar Albertina.
Sepak terjang kejahatan Gayus Tambunan tidak hanya melakukan korupsi, tapi juga menyuap. Gayus Tambunan pernah menyogok penyidik Direktur II Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Polisi Arafat Enanie melalui kuasa hukumnya, Haposan Hutagalung.
Hal itu dilakukan Gayus Tambunan agar dirinya tidak ditahan dan sejumlah harta bendanya tidak disita oleh negara. Selain polisi, Gayus Tambunan juga menyuap hakim Muhtadi Asnun senilai Rp 50 juta untuk memuluskan perkara penggelapan pajak dan pencucian uang senilai Rp 25 miliar.
Ketika itu, Kejaksaan Agung tidak cukup puas dengan hukuman yang diterima Gayus Tambunan dan kemudian mengajukan banding. Dalam putusan banding, hakim memperberat hukuman Gayus Tambunan menjadi 8 tahun penjara.
Gayus Tambunan tidak menerima putusan banding terhadapnya yang justru memperberat dan memperlama hukumannya. Atas dasar itu, Gayus kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. (Jsc)